Hari Santri: antara Makna dan Fakta
Penulis: Adam Faris dan Nahar Reza*
“Penetapan Hari Santri tak sekadar bermakna pengakuan negara atas sumbangsih kaum santri dalam merebut dan mempertahankan sekaligus mengisi kemerdekaaan. Lebih dari itu, Hari Santri adalah bentuk peneguhan tanggung jawab santri atas masa depan kehidupan keagamaan dalam bingkai NKRI.” (Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI)
Sejak dari tahun 2015, setiap tanggal 22 Oktober diperingati adanya Hari Santri. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan perjuangan para santri di semua medan dakwah maupun pertempuran. Terlepas dari akar sejarah Indonesia yang sebagian besar notabene perjuangannya dilakukan oleh kaum sarungan, tapi baru sekarang seorang santri mulai ditengok dari sisi jati diri, bukan hanya sebuah kertas hitam putih bertuliskan angka 9 untuk menggambarkan kesempurnaan seseorang.
Pada suatu ketika nabi pernah bersabda, “Sesunungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Tapi apakah bisa kita artikan hadis nabi tersebut serta merta dengan makna lafazz saja, atau mungkin kita berprasangka bahwa yang ada dipikiran nabi hanyalah bagaimana caranya berbakti kepada orangtua atau guru.
(baca juga: Sisi Lain Shalat Berjamaah)
Tidak, nabi bukanlah seseorang yang sesederhana itu, diceritakan dalam buku karya Agus Purwanto yang berjudul Api Sejarah bahwasannya pada waktu itu pemerintahan dunia dikuasai oleh dua bangsa besar yaitu Romawi dan Persia. Negeri Arab hanyalah daerah tertinggal yang dihuni oleh kaum jahiliah yang menyembah patung. Namun dalam waktu yang relatif sangat singkat setelah nabi diutus langsung ada satu negri yang bisa menyaingi dua negara adidaya pada waktu itu yaitu, negeri Arab.
Dari sini kita pahami bahwasannya seorang santri yang notabene belajar di pondok pesantran yang mempelajari Alquran dan hadis sesuai kaidah dan pengertiannya secara benar tidak hanya bertugas sebagai juru dakwah yang hanya bermodalkan mulut doing. Namun juga bejuang dalam segala lini. Mungkin 100 atau 200 tahun yang lalu para santri berjuang menggunakan pedang atau bambu runcing, tapi zaman sekarang para santri harus berjuang melalui gadget dan social media yang perkembangannya begitu cepat dan tak terkendali.
Di sinilah para santri dituntut sebagai penerus ‘lidah’ nabi yang memperjuangkan risalah Allah sebagai khalifah di bumi. Namun faktanya apa? Persentase para santri yang benar-benar serius merenungi pesan nabi dan para santri yang hanya numpang tidur yang dianggap sekolah berasrama oleh mereka sangat miris. Di sinilah mungkin salah satu dampak baik dari adanya Hari Santri sebagai ajang untuk mengingatkan dan menegaskan bahwasannya santri adalah garda terdepan dalam pembangunan suatu bangsa dan sebagai tolak ukur bahwa bangsa tersebut baik dalam tolak ukur kebangsaan dan keagamaan.[]
*penulis adalah mahasantri Ma’had Aly Nurul Islam Jember, Prodi Akidah dan Filsafat Islam
Sumber Berita : disarikan dari website pesantrennuris.net