mayouries@gmail.com 03315101602

Filosofi Lilin yang Sepi

24 Oktober 2022 Mayouries Dibaca 480 kali Karya Sastra
Filosofi Lilin yang Sepi

Penulis: Nailu Kotrin N.*

“Maka nikmat Tuhan mu manakah yang kau dustakan?” (Q.S Ar-Rahman : 13)

Tukang cerita akan menuturkan sebuah cerita satu dari rakyatnya, yang terbentuk karena krisis batin yang berkepanjangan. Barangkali tukang cerita akan duduk di tepi jalan dan di kerumuni orang-orang, sebilah kisah tentang kesepian yang harus dialami oleh seorang perempuan bercadar yang melihat dirinya menjelma lilin di dalam gua. Berikut cerita tersebut :

Zara, kembang desa sederhana yang layak dipuja. Setangkai wajah polos, sepasang binar bening berlensa, menjadi ciri khasnya. Pada umur ke-17 pandangan terhadap dunia berubah. Dia mulai muak melihat dunia. Dia mengerti, namun tidak memahami sekeliling. Betapapun, agaknya dia menarik diri dari dunia ramai. Dia muak dengan basa-basi. Dia memilih untuk berhijrah. Busananya kini lebar dan longgar disertai asesoris cadar. Dia tampak bahagia dengan keputusannya. Dia bisa makan, minum, bahagia tapi tidak bisa memiliki dirinya sendiri. Otak  damai dipenuhi belatung persoalan besar. Keluarga yang mewangi kini dipenuhi pasukan asing mata-mata tetangga.

Kawan-kawannya merasa senang mengenali dia. Jika sudah berkenalan dengannya menyenangkan. Mengenalnya sama sekali tidak merugikan. Setiap kali beremu dengannya, mereka hanya bisa menggeleng-geleng sambil meletakkan ibu jari di depan bahu. Dia tampak bahagia bersama keputusannya.

                                                ****

Di sebuah ruangan di rumahnya angin berterbangan, beberapa masuk ke ruangan lewat jendela. Angin sebetulnya berembus tidak keras, tetapi beberapa lagi mengguling ke arahanya, dia tersentak ketika beberapa di antaranya mengenai wajah yang terlilit cadar. Dia menatap dan memegang telepon di genggamannya, tatapan tajam sesekali menoleh ke seluruh ruangan. Telepon ini memang sepi, tangannya tak berhenti memijit tombol klak-klik-klak-klik. Dia melirik jendela di samping tempat tidur sebentar, lantas kembali memandang ke layar telepon.

Wajah polos dan bersih  terlilit cadar menebar terang ke seluruh ruangan. Dalam benak itu berkelebat tahun-tahun hidup serbaguna. Desis angin bergoyang-goyang, bel berkeloneng lembut, pertanda seorang telah berdiri di muka pintu. Dengan malas dia bangkit dari ranjang dan merapikan busana beserta cadarnya, berpikir sejenak lantas membuka pintu.

“Oh, kamu”. Sambil menyeret kakinya.

Perempuan yang datang mengibas-ibaskan rambutnya, tanpa menyuruh tamunya masuk, dia melangkah ke kamar mandi, terdengar desis air menyiram lantai.

Perempuan itu mematung di depan  pintu. Ia termenung, sembari menunggu.

***

Di balik pintu kamar mandi dia memandang perempuan, ia kawan yang tidak mau  mengikuti langkah hijrahnya. Dia berdiri, berpikir untuk menerima kedatangannya atau tidak. Dia merasa bahwa kawannya tidak sepaham dengannya. Setelah berhijrah, dia sulit untuk mengadakan pertemuan sederhana pada kawan-kawannya, karena dia menganggap sebagai orang yang dia curigai, sekalipun itu kawan seirasnya.

Detik berganti menit, menit berganti jam. Tak disadari, dia tertidur di balik pintu kamar mandi. Dia bergegas mengontrol di depan rumahnya. Langkahnya membunuh sepi, dari balik lensa terlihat lelaki berkumis tipis dia menamai Ayah, tersenyum kecut sejak tahu kedatangannya. Ayah dan kawannya berbagai kata-kata di ruang tamu.

(baca juga: Di Ujung Sajadah)

“Dari mana saja kamu?”

“Bertapa.”

Wajah keduanya memerah. Perempuan itu melihat perdebatan sederhana yang menghancurkan sepi. Tangis keduanya pecah, mereka bersahutan, beradu argumen. Kepulan asap keluar dari alat pendengaran Ayahnya. Telaga bening terjun dari kelopak matanya.

“Aku benci Ayah”

Dia meronta, seperti kesakitan. Perempuan itu manjadi pendnegar setia. Ketika argumen diperdebatkan, dan saling menyerang. Dia memutuskan untuk kabur, meninggalkan semuanya, termasuk Ayah dan perempuan itu. Perdebatan berlarut, kini ruangan itu berubah menyepi Dan sunyi. Ayahnya meredam gejolak kaku, kedua tangannya diletakkan di dada.

***

Pergerakan matanya membidik salah satu sudut di persimpangan jalan, memastikan Ayahnya tidak mencari keberadaannya. Dia mengasing dan menyepi, berjalan tak tentu arah.

“Mau kemana Aku? Kembali ke Ayah, tapi aku sudah terlanjur malu, berjalan mengitari bumi tapi aku tidak tahu isi dunia ini”

Dia hanya berjalan, menikmati kelinglungan yang menjadi pilihannya. Dia nampak bahagia dengan ketidakbahagiaannya.

Sambil menyeret kaki, dia menghela napas panjang, mencari kenikmatan duniawi sembari melupakan persoalan besar. Hujan mulai mengguyur tanah di bumi, busana dan asesoris cadar basah kuyup, dia menepi. Malam menjadi malam, terlihat sebuah gua yang dirasa cukup untuk menjadi tempat peristirahatannya. Sekujur tubuhnya kaku, dia kedinginan. Sarang laba-laba menghiasi jendela di gua itu.

Langkah kaki kaku terpaku menuju gua.

“Jangan, jangan kemari. Nanti kamu akan mati”

Suara terdengar dari gua itu. Terbang dipikirannnya bahwa yang dikatakan gua itu benar. Mungkin di dalamnya terdapat banyak binatang buas.

Terus melangkah, dan akan tetap melangkah. Dia menemukan sebuah jalan yang cukup lebar untuk merobohkan tubuh kaku yang menejang. Terlihat segerombol manusia yang berkeliaran sambil tertawa terbahak-bahak. Langkahnya berganti lari. Lensa yang menggantung di kelopak matanya terjatuh, entah dimana. Dia berlari sekuat tenaga, tenang yang tersedia tinggal dua puluh persen. Nafasnya tercekat, berhenti sebendar, sembari mengumpulkan tenaga. Dia mengambil lilin yang berjejer tergeletak di jalanan.

Sudah habis tak tersisa gambar segerombol manusia itu. Dia berjalan mundur, sambil menggerogohi perut kosongnya. Tak disadari dia menginjak tanah yang berganti cair dan kulit-kulit tertutup busana lebar merasa kedingiann.

Dilihatnya sebuah gunung es, dia menggigil kedinginan, busana yang longgar dan lebar tak berfungsi menghangatkan dirinya. Dia memutar-mutar badannya. Lalu berpikir, untuk menghidupkan lilin itu. Dengan segala cara dia mencari korek api, di puncak gunung dia menemukan korek api sisa para pendaki gunung. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil dan menghidupkan keduanya.

“Apakah Aku harus seperti lilin ini? Menyala terang dan menghangatkan”

Dia bergumam tak tentu arah. Dia memandang ke arah lilin itu, tak bosan, memandang sambil berpikir, lama-kelamaan lilin ini membakar tubuhnya, lilin ini mencair. Pandangannya mulai buram. Lilin ini mati tiba-tiba. Dia sadar, dia akan menjadi sebuah lilin untuk keluarganya. Dia ingin menjadi sebuah lilin yang bisa menerangi keluarganya namun di sisi lain, lilin ini akan membakar dirinya sendiri. Lalu dia berpikir dia akan habis ditelan zaman.

Tukang cerita tersebut lupa kelanjutan cerita ini.

*Penulis adalah alumnus Nuris Jember tahun 2021

 

Sumber Berita : disarikan dari website pesantrennuris.net

Share :

Komentar

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil