Merindu pada Seekor Kupu-Kupu
Penulis: Wildan Hidayat*
Pada ruas-ruas taman kota, butir-butir angin itu membawa semerbak bunga melati yang mekar itu. Akar-akar pohon cemara menyerap rintik rindu hujan akhir November. Di gelap langit timur, sepercik fajar menjingga merah, setitik bintang berpijar mekar. Pada sela-sela mawar yang seluas aroma, senantiasa terbuka. Ada seekor kupu-kupu yang mulai menuai rindu pada kekasihnya di semenanjung jarak itu.
Terdapat pada sela-sela kasihnya yang berbunga. Ia haturkan pada babu-babu Tuhan, agar butiran rindunya kian terkabul. Entah benar atau tidak ia tak kuasa terus memendamnya.
“Kekasihku, aku merindukanmu di tangkai Bunga ini,” ujarnya sendiri sebagai isyarat bahwa ia sedang merindu.
Di puncak gunung ilalang, sungai mengalir di antara mekar bunga-bunga. Angin-angin gunung tetap dingin. Gelanggan luas dilingkari tebing di sekelilingnya. Angin itu memang begitu bijak, disampaikannya rindu seekor kupu-kupu dari taman kota pada kekasihnya yang hinggap di tangkai Anggrek dekat sungai itu. “Di sana kekasihmu merindukanmu,” ucap sang angin pada kupu-kupu yang bernama Mika itu.
(baca juga: Sebilah Nasihat)
Pesan yang terpendam kupu-kupu pada kasihnya telah ia temukan, dan kini ia jelmakan menjadi sebuah pertemuan. Mungkin ini akan berjalan sesuai dengan angan.
“Tidak, di pusat taman kota banyak anak-anak rebut berburu kupu-kupu, aku takut kalau terkena jala mereka.” Ungkap Mika dengan murung.
Angin yang hanya diam terheran, mendengar seorang Mika mengucap kata diam dari kidahnya bertemu padanya. Mungkin ia masih terlalu marah dengan rindu, sebab rasa yang tak bertemu merupakan sebuah penjara bagi belenggu.
“Mika, beranikah kau bertanggung jawab atas rasa sendu di hatinya, hanya sebab kau tak lagi terbang berpasangan kesana kemari bersamanya?” Tanya sang angin.
Di antara hatinya ada seikat kejanggalan, datang atau tidak perihal panggilan rindu. Kini hanya tawanya yang mungkin berarti. Kini ia mengambil keputusan, hidup akan memberinya tawa sedangkan jika ia mati luka akan selalu berada padanya.
“Aku mengerti perihal itu, namun, anak-anak itu tak mengerti tentang rindu, apa guna aku menemuinya jika pada akhirnya terpisah oleh jarak lagi?” ujar Mika.
“Ya sudahlah, jika itu kehendakmu.”
Angin kini menyerah akan angan yang dimiliki Mika. Ia tak sanggup lagi meringankan beban sahabatnya yang telah lama merindu padanya. Jutaan asa telah ia rajut demi membantu kawannya. Tetapi nihil, apa ucap si Mika.
Seekor kupu-kupu jantan itu tetap termenung di atas semerbak bunga Mawar, ada yang dikabar butir angina pada bunga Mawar itu.
“Katakan pada kupu-kupu malang itu, bahwa kekasihnya tak ingin bertemu dengannya, karena takut pada jala anak-anak itu.” Ungkap angin pada Mawar itu.lalu, angin itu pergi seketika.
“Sar, Mika tak ingin bertemu denganmu, karena takut terkena jala anak-anak yang berburu kupu-kupu.” Ungkap bunga Mawar pada kupu-kupu yang sedang dilanda rindu itu.
Mawar merasa bersalah, perihal mengucap pada kawannya tentang sebuah luka. Jika ia tak berucap, maka ia dusta akan janji dengannya tentang apa itu sebuah setia. Jadi luka pun ia sayat demi kata setia ia laksanakan dengan sempurna.
“Aduh, begitu kejamnya jarak dan manusia. Andai mereka tau rindu ini, bahka penyair tua yang selalu duduk di pinggir taman ini tak akan mampu melukiskan rindu ini dengan metaforanya.” Kata kupu-kupu itu seraya bersedih.
Mungkinkah kini seorang kupu-kupu yang diam itu diam dalam sendu? Mungkinkah ia teguh berdiri di atas sebuah rindu? Mungkin hanya lukalah yang akan menghiasi sebuah kasih yang kosongnya.[]
*Penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris, jurusan PK, tahun 2021
Sumber Berita : disarikan dari website pesantrennuris.net