Matahari Terbenam Di Ufuk Selatan?
penulis: Dearly Ashila A*
Pagi-pagi sekali sebelum matahari menampakkan dirinya. Dingin embun pantai bersemayam menusuk kulit. Tak kalah dingin dengan suasana di sore lusa. Cerah sore lusa habis di telan kecewa mendalam. Hingga sakitnya utuh menyelimuti hati. Terasa tajam dan menyakitkan.
“Jangan pergi!” Aku berteriak.
Suaraku lepas mengaung di tepi pantai selatan. Tanpa berlari mengejarnya. Tak bisa di gapai. Bayangan itu hancur lebur menghilang bersama angin yang bertiup menjauh dariku.
Tak ada lagi air mata yang jatuh. Hanya hembusan napas lelah yang menggantikannya. Sudah tiga bulan aku kehilangannya. Tepat di sore ini ia pergi tanpa berpamit padaku. Aku melihatntya dengan mata kepalaku sendiri. Bahu tegapnya perlahan menghilang.
Tak sedikitpun menoleh untuk sekedar mengulum senyum hangat seperti kemarin. Perlahan aku menunduk. Bukankah dia akan kembali??. Tetapi raut wajahnya dingin seakan ia tak akan kembali. Pikiran itu selalu memenuhi isi kepalaku.
“Kamu bukan pemiliknya!. Jangan terus menerus menangisi kepergiannya” Aku mendongak. Bibi dengan tampang galaknya menarikku untuk bangun dari deraan lara yang berkepanjangan.
“Tapi aku sayangan dia” Aku memilih. Tak kuasa menahan sedih yang amat sangat.
“Manusia itu tidak ada yang singgah untuk menetap. Pasti ada kalanya ia kembali ke pemilik aslinya. Kamu boleh mengklaim bahwa dia adalah milikmu. Tapi itu sebatas pengakuan mu saja. Karena pemilik aslinya bukanlah dirimu. Berhentilah menangisi kepergiannya. Pada akhirnya kamu akan bertemu kembali dengannya. Karena pemilik kalian adalah pencipta yang sama”.
Setelah mengatakan itu, bibi meninggalkan yang duduk memeluk lutut di sudut batuan besar. Aku melihat bibi tengah sibuk menjemur pakaian. Aku kembali menatap ke depan melihat cerahnya sore saat matahari hendak terbenam di ufuk barat. Sore ini terlihat lebih hangat. Dengan suara deburan ombak yang tenag. Sekilas mengingatkanku pada sosok yang tersenyum hangat kearahku. Tak ada lagi raut lagi wajah yang dingin. Senyumnya begitu lebar hingga Aku terkekeh dibuatnya.
“Selamat tinggal” Aku tersenyum.
Aku tau maksud ucapan Bibi. Dan Aku merutuki diriku sendiri yang terlampau egois degan takdir yang sudah dirancang baik oleh tuhan. Aku yakin akan ada hal baik didepan sana. Aku hanya membutuhkan waktu untuk semua ini. Karena saat ini Aku mulai melangkahkan langkah pertamaku untuk keluar dari keadaan yang sekarang.
“Terima kasih Bibi”
Tidak ada yang kita punya di dunia ini. Kita semua sama dihadapan tuhan, miskin dan lemah. Bahkan setiap tarikan nafas yang kita hirup dengan sadar kita hembuskan kembali. Alias kita kembalikan lagi. Itu ukti kecil bahwa memang kita tak punya apa- apa di dunia ini.
Penulis merupakan siswi MA Unggulan Nuris