Apakah Aku harus Membuat Instagram agar Petuahku dapat Didengar?
Penulis: Alya Latifatul*
Pembacaku yang budiman, perkenalkan aku Gamelan. Kuharap kalian tak kebingungan, bila bahasaku terlalu memperhatikan rima dan mengesampingkan urusan ejaan. Engkau perlu mengerti bahwa aku hanyalah gamelan yang jauh dari rasa kemanusiaan. Untuk itu bila selanjutnya ada bahasa yang terlampau berima-rima penuh bebunyian, maafkan. Hati-hati! Jangan terlampau fokus dengan kata yang aku geletakkan, fokuslah dengan apa yang aku ceritakan.
Kesiur angin menyibak kasar tubuhku yang beku, sebeku lidah si mengkudu yang dibiarkan sewindu, bersama pasukan abu yang memenuhi tubuhku hingga bertabu, hari-hariku pun juga kelabu, dan semuanya seperti babu. Hingga seseorang dari masa lalu itu membangunkanku dari tidur panjangku, memukul tubuhku yang berwarna hitam, bisa juga abu–abu, satu kali, dua kali, bahkan berkali–kali seterusnya, aku dipaksa untuk bangun, berkali kali ia memukulku, tetap saja aku pura-pura tertidur pulas, berharap ia terus membangunkanku, ia tetap memukul tubuhku, hingga aku tersadar kini ia benar-benar membutuhkanku.
***
Seorang bocah mungil itu tersenyum riang, ketika bagian dari tubuhku yang terbuat dari besi ini mengeluarkan nada-nada yang indah, seringkali ia menggunakan suara yang keluar dari tubuhku untuk dimainkan bersama sinden-sinden yang sedang asyik bernyanyi, kadang juga untuk menyambut datangnya si para tamu undangan, juga untuk mengiringi seni pertunjukan pewayangan yang ditampilkan di beberapa daerah setempat, ia memanfaatkanku untuk mencari nafkah, membanting tulang, menjemur kulitnya yang sudah hitam, hanya untuk sesuap nasi dan sebutir obat untuk ibunya yang kurang sehat, hanya aku satu-satunya warisan peninggalan Bapaknya, harta paling berharga, paling berguna dan menghasilkan uang, meskipun masih berusia dini, ia seringkali berdiskusi bersama para dalang, hingga aku sedikit paham tentang cerita pewayangan, lebih-lebih tentang keluarga punakawan, si Semar yang rendah hati dan jujur, si Cakil yang lihai dalam berdiskusi, si Gareng yang humoris, si Petruk yang cerdas nan pemberani dan tak lupa si Bagong yang sabar dan hidup dengan ala kadarnya, seringkali mereka mengajakku untuk nongki-nongki berdiskusi, sembari ngopi di warung Bu Evi, membahas tentang kerajaan Majapahit, perjuangan Wali Songo, Istri-istri Soekarno, hingga era pemerintahan Bapak Joko Widodo. Sampai-sampai kita melupakan waktu senja yang sudah datang dan berpendar secara tiba-tiba.
“Ya gimana pun caranya, anakku harus sekolah tinggi.”
“Hadoooooohh, kerjaanmu aja luntang-lantung, kok ya mimpinya, bikin gantung aja.”
(baca juga: Pesan Ilahi)
Bagong mencomot kalimat seenaknya saja, dengan tangan kanan yang hendak memasukkan pisang goreng hangat di mulutnya.
“Weladalah, ketimbang kamu, anak istrimu dibiarkan, ditelantarkan begitu saja di rumah, kamu malah enak-enakan nongkrong, nggak cari uang.” Balas Gareng dengan nada yang sedikit ketus.
“Etss, kata siapa dibiarkan, ditelantarkan begitu saja. Haaa??? Mereka bahagia punya bapak seperti aku, toh anak istriku menerima berapapun materi yang kuberikan pada mereka, lagi pula ingat kata-kata Mbah Semar ojo dumeh, mergo urip iku urup/”
Kata-kata itu terlontar di mulut Bagong dengan bangga, dadanya sedikit ditegakkan ke depan seolah-olah ia baru saja menjadi pemenang lomba tenis meja,
“Ah iya, apa kabar pak tua itu, lama sekali kita tak berjumpa dengannya.” Ucap Petruk sembari meniup kepul kopi panas di tangannya.
“Mungkin dia sedang bersemedi di Gunung Fuji, heuaheua, mencari bantuan agar cucunya diselamatkan dari rangking ke empat puluh dari empat puluh satu siswa. Heuaheua”
“Ngawur kamu Gong, kalau ngomong itu loooo, mana mungkin cucu tetua kampung kita tidak sepandai eyangnya, yang namanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya ‘kan?” Balas Gareng dengan sedikit memelototi Bagong.
“Halah, cucunya Mbah Semar itu teman kelasnya anakku, aku bukan asal ngomong, masak saat gurunya menerangkan pelajaran, ia dan beberapa temannya menyelonong keluar kelas membeli jajan di warung belakang sekolah, lalu masuk kelas lagi dengan membawa jajanan yang baru saja dibelinya.”
“Serius Kamu?”
“Yaps, ada juga yang lebih parah, masak ketika ulangan harian ia seringkali mengoperasikan HP, yaaa guru yang mau negur juga bingung, takut sama eyangnya, yaaa meski eyangnya lebih suka cucunya dimarahin ketika salah.”
Bagong menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
Air matanya keluar deras, semakin deras hingga membasahi lembaran demi lembaran tubuhnya yang mulai kusut, kalut, seperti hatinya yang semrawut, ya aku sih hanya bisa duduk diam sembari mendengarkan cerita demi cerita yang ia lontarkan padaku.
“Dan salahku itu apaa?”
Ia masih menangis, lalu menyeka air matanya yang masih tetap keluar.
“Tugasku untuk mencerdaskan mereka, tapi tapi apa balasan mereka padaku?”
“Sabarlahh, ini cobaan”
Aku mendengus kesal, yaa butuh berapa lama lagi aku harus mendengarkan semua cerita-ceritanya yang tak berujung, bukan hanya satu dua kali, seringkali bahkan hampir berhari-hari, oknum-oknumnya juga sama, pasti tak luput dari anak sekolah menengah atas yang sibuk menjalin hubungan, atau anak sekolah menengah pertama yang sedang asyik mencari banyak teman, dan bahkan anak tingkat dasar yang matanya terus menerus tak luput dari pandangan Gadget. Ya begitu malang nasib kenalanku yang satu ini,, Ketika awal kita bertemu di padepokan Mbah Semar ia masih riang gembira, senyumnya yang teduh selalu ia terapkan di wajahnya yang penuh keceriaan, aku pasti bisa!, aku pasti bisa!, selalu saja begitu Ketika pagi telah tiba, Ketika jalanan masih ramai oleh kendaraan ontel milik pelajar, dan bel pada jam tujuh lebih lima belas telah dibunyikan.
Menurut Mbah Semar Ketika beliau menceritakan kenalanku yang satu ini, ia adalah salah satu makhluk Tuhan yang cukup ambisi, suka mendeskripsi, dan juga historis, sedikit berbicara namun banyak melakukan, tak seperti aku ini, banyak berbicara eh sedikit tindakannya, awal bertemu aku sedikit minder, ya bagaimana tidak, karena ia adalah salah satu makhluk kesayangan Mbah Semar, yang juga salah satu makhluk kesayangan kita semua, ia selalu dibawa kemana-mana, disematkan dalam selempitan lengan kanannya agar tidak hilang ketika jalan, karena pada waktu itu Mbah Semar masih belum mempunyai sesuatu untuk menampungnya untuk dibawa kemana-mana.
Namun sekarang, ketika kita tak sengaja berjumpa di sudut ruangan kelas yang di pintu ruangan pojok atas bertulisan XII IPS 1 keadaan tak sepersis dulu, kini ia berteman sepi, bersahabat dengan ventilasi dan berdiskusi dengan kenalan barunya yang bernama sunyi.
(baca juga: Dilema)
“Kau kenapa bisa berada di sini?”
“Salah seorang guru Bahasa Indonesia memperkenalkanku pada murid-muridnya “
“Bagaimana respon mereka padamu?”
“Yahh ada yang antusias, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada juga yang sampai tertidur pulas”
Kami tertawa bersama dengan nada sedikit pelan, lalu tiba tiba ia diam sejenak.
“Beruntungnya kamu, meski satu dua saja, yaa kamu masih bermanfaatlah bagi orang lain”
“Heyy, kaulah makhluk yang diciptakan paling sempurna di antara kami, kau mengandung banyak manfaat dan segudang nasihat.”
“Kau juga melahirkan orang-orang hebat, bermartabat dan bertabiat, tidak seperti aku yang hanya bisa membuat telinga dan ruhaninya sehat.”
Aku menimpalinya dengan antusias dan sedikit lelucon, ya meskipun hal ini tidak mampu mengubah ekspresi wajahnya.
“Yaa itu duluu, sekarang mereka tidak butuh akan manfaat apa lagi nasihat, mereka lebih butuh pada nikmat”
Aku terdiam, benar yang dikatakannya barusan, nasihat dan manfaat akan kalah hebat dengan yang namanya nikmat, entah pola pikir apa yang berkembang biak di zaman ini, yang pasti kini kita sedang mengalami musim paceklik dan nasihat-nasihat dari Mbah Kung kita Mbah Semar! Sangatlah dibutuhkan.
***
Gedung-gedung bertingkat berjajar rapi di sela sela hiruk pikuk kota, jalanan ramai dengan kepulan asap kendaraan, dan toko-toko besar itu pun sudah dibuka lebar, entah itu milik siapa, yang jelas, si mata sipit berkulit putih berkeperawakan tinggi itu sedang asyik menghitung lembaran demi lembaran merah yang ia letakkan di amplop berwarna coklat di meja kerjanya,
“Ini Ko, kopinya.”
Seorang pria lokal, berkulit rada hitam itu menyodorkan segelas kopi hangat kepada pria bermata sipit
“Yaya terima kasih”.
Di sudut kota di bagian lainnya, tepatnya di gedung tinggi yang terletak di tengah tengah hiruk-pikuk aktivitas penduduk kota, seseorang berjas hitam dengan dasi merah yang tersemat di lehernya sedang menggaruk-ngaruk kepalanya yang tidak gatal di ruang kerjanya, matanya sedikit nanar, jari jemarinya ia gerakkan seolah-olah sedang menghitung sesuatu, kertas putih yang bergambar grafik itu iya remas lalu dilemparkan di tempat sampah,
“Mengapa bisa begini?”
Ia mendengus kesal, lalu mengambil telepon genggamnya yang ia letakkan di meja kerjanya.
“Kita butuh rapat sekarang.”
“Mengapa harus dadakan, haa?”
“Bangsa kita krisis, perekonomian menurun, penyalagunaaan narkoba meningkat, klub-klub malam untuk para pelajar hidup, dan sekolah-sekolah di pedesaan mati.”
Ia mematikan ponselnya, percakapan selesai.
***
“Tingg”
Ia selesai memainkan tubuhku, matanya memerah memar, nanar, air matanya keluar dari matanya yang sayu, lalu menetes di sela sela kulit pipinya yang keriput, bajunya pun masih sama seperti dulu.
“Lantas nasihat apa, atau kata-kata mutiara apa yang dapat sampai di telinga mereka?”
“Quotes mungkin, itu semacam kata-kata yang seringkali muncul di Instagram, atau media sosial lainnya.”
“Apakah aku harus membuat instagram agar petuahku dapat didengar?”
*penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris tahun 2022
Sumber Berita : disarikan dari website pesantrennuris.net