mayouries@gmail.com 03315101602

Rego dan Telaga Rupo Mbranang

4 Februari 2022 Mayouries Dibaca 477 kali Karya Sastra
Rego dan Telaga Rupo Mbranang

Penulis: Aushofi Zakkiyatul Fauziyah*

Celah jendela mempersilakan surya memancar dalam gubuk reog kecil milik Mbah Sigit, sengatan hangatnya memijat manja ke dua pelupuk mata. Istrinya Nyi Sandang menghidangkan secangkir kopi pahit dan tiga rebusan ubi jalar di atas piring yang beralas daun pisang muda. Setelah menyeruput kopi buatan istrinya yang duduk tidak jauh dari tempat Mbah Sigit mengasah keris koleksinya. Ia pun berdiri dan berjalan masuk rumah dengan bantuan sebuah tongkat keramat meninggalkan Nyi Sandang yang sedang menyulam pakaian di atas lincak (Tempat duduk dari bahan bambu) luar rumahnya. Ia menuju bilik lelaki muda bernama Mas Rego. Seutas tali klabang meluncur tepat di betis kiri Mas Rego yang masih tenggelam dalam aliran mimpi bekas sembahyang subuh tadi.

 “Rego!” Tutur Mbah Sigit, setelah menyelamatkan dari ketenggelamannya. “Tangio! Si mbak sudah buat sarapan buat Kamu, setelah itu tak tunggu di depan rumah. Kambing-kambingmu juga butuh makan!” Ujarnya sembari meninggalkan kamarnya.

Siulan burung-burung desa mengasrikan suasana, kembang-kembang bermekaran membuat para lebah terpanah, angin pagi menyapa halus wajah sisa basuhan wudlu duhanya. Pasukan pengendus bergerumbul sembarang di belakang Mas Rego.

”Mbah, Mbok berangkat dulu nggeh!” Pamitnya dengan membawa pecut kakunya. Di sepanjang jalan tak ada satupun yang menyapanya, wajar saja, hal itu karena rumah Mbah Sigit memang berada di tempat yang jauh dari pemukiman warga. Tak ada satu orang pun yang pernah ia ajak sebagai tandingan obrolan.

Bukan khayal bukan mimpi. Sambil ia menunggu kembaraannya makan rumput, ia melihat gadis cantik bermahkota mandi di telaga yang tidak ia ketahui nama telaga tersebut. Gadis itu membelakangi titik pandang lelaki itu. Rasa ketertarikan menggebu-gebu masih dalam dada lelaki itu, tangannya tampak putih bersih, rambutnya saja menggulung diatas.

“Iki pasti bidadari yang Tuhan kirimkan untuk diriku.” Bisiknya dalam hati ketika melihat gadis ber-kemben batik warna cokelat mandi sendiri.

Panasnya yang menawan membuat ia terbius dan lupa akan kambing-kambing miliknya ia tinggal begitu saja hanya untuk melihat gadis jelita di belakang pohon besar yang tidak terlalu jauh dari telaga itu. Namun suara rintihan kambing rupanya mampu memecah gelembung asmara pandangan pertamanya. Ia pun lari menuju gerombolan kambing gemulnya yang ternyata salah satu dari mereka disambar oleh ular. Tusukkan keris tajam menancap di kepala ular, dua tangan kasarnya meremas tubuh ular yang melilit dileher peliharaannya. Dua tusukan susulan ia sodor ke tubuh ular untuk menyelamatkan kambingnya. Ia pun membawa kambingnya pulang.

(baca juga: Bukan Sebatang Rumput)

 Sebujur jalan terjal ia tepaki. Wajahnya masih mengusik pikiran Rego. Mata Rego masih terpaku dengan bayangan gemulai cantiknya. Tubuhnya gemetar seakan bergurai bersama dalam telaga. Sesampai di rumah ia meninggalkan 9 kambingnya yang sebelumnya sudah dilihat di pohon di depan rumah, lalu menuju pawon untuk menceritakan kepada Nyi Sandang. Mas Rego berdiri bahagia di tengah pintu belakang.Bibirnya tersimpul manis karena ingin berkata kata. Belum lah bercerita Mbah Sigit yang bertutur.

“Mas jangan sembrono (sewenang wenang) hidup itu punya aturan! Sudah tau tempat itu keramat, kok masih dikunjungi?” ketika Rego ingin meletupkan jawaban Mbah Sigit menambahkan, “Kembalikan yang  Kamu temukan di sana sebelum malam purnama, ingat mas lusa depan.”

“Aku tidak menemukan apa apa, terus apa yang harus aku kembalikan?” Bngkangnya menyahut sarannya sembari menuju kamar depan. Nyi Sandang berkata “Mbah bene wes, pokok cucu kita seneng,lagi pula apa yang telah terjadi? Rego terlihat tersenyum sumringah setelah mengembara? Biarlah dia senang?” “Mbok, nyawa dibalas dengan nyawa, Kamu tahu kan, dua mataku adalah bukti dari itu. Aku buta sebab meangaku gunakan sebagai mengambil mata buaya di telaga rupo mbranang, yang aku gunakan sebagai pernik kerisku. Aku takut Mbok. Dia juga mengambil sesuatu dari sana.”

Nyi Sandang langsung berujuk ke bilik Rego yang sedang mabuk asmara. “Mas kembalikan Mas, sebelum malapetaka terjadi!”Ujar Nyi Sandang.

“Mbok aku sudah besar, beri aku kebebasan hidup sedikit. Aku juga ingin terlihat gagah!” Bentak Rego semakin menderaskan air mata Nyi Sandang. Rego tiba-tiba mengumpulkan semua pakaian yang ia miliki dan ia bergegas meninggalkan Nyi Sandang, langkahnya berat, karena kaki kirinya yang dirangkul wanita lemah itu dan sembari berkata terisak.

“Mau kemana? Mbok akan memberikan kebebasan, jangan pergi mas!” Suara lelaki tua terdengar dalam pawon rumah. “Biarkan saja mbok,ia pasti akan kembali denagan wujud yang berbeda.” Tangis Nyi Sandang terus berlinang, namun tekad Rego tetap bulat. Ia memegang dagu keriput wanita itu sembari berkata, “Aku akan kembali dengan membawa wanita  yang  aku cintai dan hendak aku nikahi. Biarkan aku pergi, tetap tinggal dengan Si Buta di gubuk ini. Aku berjanji akan kembali.”

(baca juga: Deklarasi Senja)

Sambaran petir dan kilatan sinar elektron di langit menghantui suasana itu, angin bergemuruh menumbuhkan pohon-pohon kurus di hutan. Hal ini menandakan kejadian buruk akan terjadi.  Dua hari dua malam kejadian ini tidak berhenti hingga datanglah malam purnama. Hari itu Nyi Sandang dan Mbah Sigit memasrahkan atas segala sesuatu yang akan terjadi menimpa mereka. Suara ketukan mengagetkan kedua pasangan itu dan memaksakan mereka untuk membuka pintu. Ada sosok dua pasang ular besar yang jantan berkalung inang yang betina bermahkota berlian mengelilingi gubuk itu selama tujuh kali putaran dan meninggalkan rumah itu menuju hujan keramat.[]

*penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris Jember tahun 2021, asal Wuluhan, Jember, dan penyuka sastra


Sumber Berita : Pesantrennuris.net

Share :

Komentar

Refresh halaman ini jika komentar tidak tampil