Robin Si Kumis Lilin

Oleh: Restu Maesha Puji W
Dengan paksaan yang paling dalam, ku coba untuk rela menceritkan hidupku yang terjijik, tertaik, tertolol, terkonyol dan terbangsatkan oleh bajingan.
Tiap mentari bersua dengan dunia. Ibuku sudah mendidih ditengah sawah. Dipaksa-paksa menanam padi. Untung saja bukan ibuku yang ditanami. Bapakku ditarik-tarik mengelola kebun tebu yang terik. Dasar Belanda tengik, mulutnya berisik.
Bernafas dua detik saja. liur-liur itu bercampur ocehan terciprat tanpa jeda. Kerja ya kerja. Upahnya dimakan Belanda. Tidur baru sebentar, sorenya rumahku bias gentar. Mulut-mulut kasar itu gemar memaksa. Pun lihat yang cantik sedikit rasanya ingin diperrkosa. Sungguh Jember masa ini adakah taik setaik taiknya taik. Jikalau tak kerja, yang kumakan mungkin hanya nasi putih saja. Untungnya aku bukanlah perempuan yang gemar bersolek dan manja. Suka caper-caper cuit-cuit macam jalang. Peminatnya pasti para bajingan.
Bangun mimpi tubuhku sangat kaku nyaris linu-linu. Aku tetap hendak bekerja tapi ibu melarangku. Katanya takut mati berdiri! Pasrahku dengan tetap berbaring di atas dipan bambu yang sedikit reot dan mengelupas warnanya. Pada siang bolong begini si Belanda ingusan itu tak pernah absen kemari. Ke tempat rakyat pribumi. Setiap hari. Mencari-cari siapa saja yang tak bekerja hari ini. Membentak-bentak menyuruhku keluar dari kamar. Tidak sopan!
“kenapa? aku sedang sakit”
Tak ada jawaban kecuali tatapan dari si kumis lilin. Tapi kedua kakinya tetap berdiri tegap di depanku.
“meneer?”
“oh, kau sakit. Cepat sembuh, siap namamu nona?” cuih, nona katanya.
“Sarmilah”
“Robin”
Sejujurnya rasanya aku tak sudi berjabat tangan dengan seorang pemaksa. Najis.
---
“Marni!. Keluar kau, Marni!”
“Pekerjaanmu hanya sakit terus, tidur terus, kenapa gak mati aja sekalian”
“Sekali lagi kupanggil batang hidungmu tetap tak muncul juga. Upahmu kutunda sebulan lagi. Biar sekalian mati kelaparan suamimu itu yang sudah tinggal tulang dan kulit”
“MARNI!”
“Iya. Kenapa? Bisa tolong tenang tidak. Ibu saya lagi demam tinggi. Bisakah meneer memberi keringanan sedikit saja?”
“Omong kosong. Kau dan ibumu hanya ingin santai-santai dan tidak bekerja kan?”
“terserah”
Sejak itu aku tak pernah lagi bertutur sopan kepada Belanda yang siapapun yang manapun yang bagaimanapun dan sampai kapanpun.
---
Hampir-hampir senja ibuku baru pulang dari lahan jajahan belanda. Bapakku kemana? Tidur di tanah. Pekan lalu tubuhny aditemukan kaku di sekitar pekarangan tebu. Entah bapakku disiksa, atau dia mati kelaparan atau memang mati saja. Yang jelas rasanya itu sangat sulit dideskripsikan. Apalagi dituntut ke pengadilan!
Sungguh Jember ditangan kolonial sangatlah sial.
Tahu begitu lebih baik aku memilih lahir sekarang.
Selain jadi buruh tadi sawah dan ladang. Keluarga ngenesku ini disuruh membuat dan menjual suwar-suwir yang gulanya dari pabrik Gunungsari. Aku yang buat, aku yang jual, aku hanya dapat seperempat dari untungnya.
Di jalan- jalan yang kering, dadaku tetap basah. Ada jejak-jejak rapuh dan basah. Kabarnya sampai sekarang masih bersarang entah kapan dapat menghilang. Kampung Londo. Aku ingin bercerita sekilas tentangnya. Bersama mentari, ditemani peluh tanpa peneduh. Aku menyusuri tiap-tiap sudut pemukiman para blonde-blonde Belanda. Tiap-tiap hari aku dipuji sebagai gadis lugu penjual suwar-suwir termanis. Paling manis diantara yang manis dan akan selalu manis.
“Sar!”
“Sarmilah!”
Rupanya si kumis lilin itu sudah ada dihadapanku. Cepat sekali dia berlari. Aku tak menggubris dan lanjut saja berjualan “suwar-suwir manisnya, nyonyah, tuan”. Tak menghiraukan sekalipun penjual yang lain membicarakanku sebab aku tak sopan pada meneer mereka. Siapa lagi kalau bukan Robin si kadal blonde itu.
“kubeli semua suwar-suwirmu. Kemudian pulanglah, istirahat”
“dua puluh ribu”
Setelah memberiku hijau rupiah itu dia beranjak pergi dan hendak minta hasil dari penjual yang lain.
“Sar. Kok kamu judes banget sih. Padahal jarang-jarang loh meneer Robin membeli suwar-suwir kita”
“mboh ra, biasa Sarmilah ndak tau untung. Ngomong terima kasih aja ndak”
“biasa buk. Ratau diajari sopan santun”
Yang penting suwar-suwirku habis. Aku pulang dengan makan cibiran ibu-ibu. Sama sekali tidak mengurangi pahalaku kan?
---
Hari lebaran bagi rakyat pribumi. Dimana semua akan mendapat upah dari hasil kerja paksa mereka. Uang yang dipakai untuk makan saja, tidak lebih. Sedangkan tenaga yang dipakai untuk kerja tak digaji sama sekali. Hanya merasa keluh, lesuh. Pakaian pun tetap lusuh. Tapi upahku ditahan. Satu bulan. Mau tidak mau aku beserta ibu harus kuat menahan lapar. Nasib kami sudah terlantar. Perut kami bergetar. Ingin bernafas pun rasanya kurang lancar.
“ini upahmu, Sar”
“tapi ada syaratnya”
“tinggalkan ibumu dan bekerjalah dirumahku”
“gak sudi!”
---
Baru sedap mata kucuci dengan melihat rumah yang bersih. Hanya saja baru ingat ada pakaian yang belum kujemur.
“Sar. Tak bantu, ya”
Belum sempat menjawab, si kumis lilin itu meraih jarik yang ada ditanganku. Ya sudah. Kutinggal beberes dapur saja. Walah-walah baru sepuluh menit, si blonde itu sudah mengekoriku. Padahal kita tak pernah hidup bersama. Begitu hafal dia denah gubukku.
“Sar, suwar-suwirmu manis sekali. Enak”
“ya, terima kasih”
“sepertimu”
“taik,” aku terjengkang seolah tersandung batu besar.
Aku sudah melupakan soal si kumis lilin ingusan itu. Aku merasa menjadi orang paling beruntung sedunia. Sebab dia belakangan ini tak pernah lagi mengusik kehidupanku. Hanya saja yang tetap adalah menjalankan sistem kerja tanam paksa. Halah, mungkin dia mati. Kena angin duduk. Masa bodoh. Lebih baik aku membantu ibuku yang sudah bertulang reot ini untuk membawa berikat-ikat tebu ke pabrik gula Gunungsari. Rasa-rasanya aku ingin menyibak mentari lalu menggantinya dengan mendung. Sesuai dengan nasibku yang berkabung.
“berhenti!”
“nggeh, meneer. Ada yang bisa saya bantu”
Aku tidak suka dengan ibuku yang bertindak sopan pada si pemaksa itu. Wajahku alergi berhadap dengan kumis lilinya itu.
“boleh saya bicara dengan Sarmilah, bu?”
Waduh-waduh sangat dijarangkan sekali ini ini si kumis lilin tidak membentak-bentak dan bertutur sopan kepada yang lebih tua.
“bisa minggir gak. Beban saya berat ini gara-gara paksaan, kerja rodi dan keegoisan tengikmu itu!”
Ibu mendelik padaku tapi aku tak peduli.
Robin sama sekali tak tersinggung justru mengangkat beban tebu yang ada di bahuku. Lalu memikulnya.
“aku bisa sendiri!”
Sepertinya telinga Robin tak berfungsi.
“Robin. Aku bis sendiri!”
Terasa berbicara dengan batu. Batu yang bisa berjalan!
“ROBIN!”
Dasar blonde kopok. Ingin sekali kedua telinganya ku gorok.
Sepanjang jalanan sepi. Taka ada ibu atau anak buah Robin yang mengekori kami. Hanya kami berdua- Lebih mengerikan dari berduaan dengan serigala.
“Robin. Apa yang kau inginkan dariku?”
Robin baru menoleh dan menghentkan langkahnya yang besar.
Sepatu kulitnya kini tepat berada di depanku dan tangannya hendak menyibak rambutku.
“tidak usah. Aku iso nggelung dewe”
Kedua mata bitu itu memandang penuh makna.
“Sar”
“iya”
“apa yang kau lakukan jika aku mencintaimu?”
“aku mau bunuh diri”
“apa yang kau lakukan jika aku ingin menikahimu?”
“aku mati berdiri”
“kenapa demikian?”
“aku tidak sudi dicintai pemaksa, begundal sialan sepertimu”
“aku tak sebajingan itu, Sar. Tidak ada yang salah dengan ucapanku”
“kau cukup memaksaku bekerja rodi. Tidak perlu kau mamaksaku untuk kita saling mencintai”
Mengerti, Robin?
Aku tidak mau dicintai.[]
***
*penulis merupakan siswi aktif MA Unggulan Nuris kelas XI Agama 1